Senin, 18 April 2011

Terorisme dan Remaja Indonesia

TERTANGKAPNYA beberapa tersangka terorisme oleh Densus 88, selama ini membuat miris kita semua. Bagaimana tidak, tersangka terorisme itu masih terbilang belia, yang merupakan alumni dan sebagian masih mengenyam pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK). Dari fenomena tertangkapnya remaja tersangka terorisme itu, paling tidak mengisyaratkan tiga hal penting. Pertama, adanya modus baru perekrutan terorisme yang mengincar alumni atau yang masih menjadi siswa SMK. Kedua, lemahnya pengawasan orang tya akan aktivitas putra-putrinya. Adapun ketiga, mulai tersusupinya dunia pendidikan dengan paham terorisme.
Tiga hal sebagaimana disebutkan menjadi penting untuk mendapat perhatian serius, tidak saja dari orang tua, sekolah, dan masyarakat, tetapi juga segenap pemangku-kepentingan pendidikan. Jika tidak segera mendapat penanganan yang serius, atau tidak dilakukan langkah-langkah strategis, bisa dipastikan akan semakin banyak siswa dan remaja kita pada umumnya yang menjadi kaki tangan dan pengantin aksi terorisme. Secara pasti, mereka bakal menebar ancaman dan keresahan di lingkungan masyarakat.
Menurut pemerhati terorisme Al-Chaidar (2011), remaja atau istilah kerennya anak baru gede (ABG) lebih mudah dibentuk atau di-cuci otaknya. Apakah karena para ABG itu tergolong bodoh, sehingga mudah dibelokkan dan direkrut terorisme? Ternyata tidak, mereka tergolong remaja yang cerdas. Bahkan, menurut Kepala SMKN 2 Klaten, Muhamad Soleh, tiga tersangka teroris adalah alumni sekolahnya yang memiliki prestasi cukup menonjol. Rata-rata nilai mereka 7-8 ke atas, bahkan untuk nilai-nilai pelajaran eksak tergolong tinggi.
Lantas mengapa mereka bisa dengan mudah didoktrin? Ternyata, para teroris sengaja .melakukan perekrutan kepada remaja atau pelajar di kalangan sekolah dan universitas negeri, yang rata-rata pendidikan dan pemahaman agamanya rendah. Karena pengetahuan agama dangkal dan tidak mendalam, lanjut Al-Chaidar, mereka akan menerima begitu saja doktrin terorisme yang diberikan para perekrutnya.
Apalagi, berdasarkan temuan aparat kepolisian pada beberapa kasus, para tukang rekrut memiliki banyak akal dan banyak keahlian; seperti menjadi guru (ustaz) ngnji, mubalig, tukang dakwah dan sebagainya. Para perekrut teroris ini, biasanya berusaha membungkus kelompoknya dengan semenarik mungkin, seperti menawari kegiatan out-bond yang bernuansa keislaman. Dari kegiatan out-bond itu,diselipkan nilai-nilai terorisme atas nama jihad dengan menyitir ayat-ayat Alquran, hadis, dan sebagainya.
Karena pemahaman agama yang dangkal itu, mereka tidak akan banyak bertanya mengenai ayat Quran yang dikutip sang perekrut. Sebenarnya penggunaannya dalam konteks (asbabul nuzul) apa. Begitu pula dengan hadis, mereka tidak akan bertanya banyak mengenai asbabul wurud, kesahihan hadis, serta sanad-nya dari mana saja dan sampai tingkat berapa. Singkat kata, pengetahuan remaja yang direkrut menjadi teroris itu hanya pada tataran rasional yang dangkal.
Dilihat dari aspek pengasuhan, para tersangka teroris itu umumnya kurang mendapat perhatian dari orang tua. Sebagaimana pengakuan orang tua tersangka-yang sebagian adalah buruh-intensitas pengawasan terhadap anak-anak mereka sangat kurang. Orang tua juga tidak pernah menaruh curiga, karena anak mereka terlihatalim, bahkan sering ke masjid. Padahal, di masjid itulah sebenarnya telah terjadi proses indoktrinasi sang anak oleh para teroris. Akibatnya, para orang tua tidak mengetahui apa saja yang dilakukan anak-anak mereka. Karena itu, ketika anak-anak ditangkap Densus 88 atau aparat berwajib lainnya, orang tua ngotot membela.
Pendidikan kritis Jika melihat fenomena sebagaimana di-sebutkan, dunia pendidikan harus meningkatkan kewaspadaannya dan tidak boleh kecolongan lagi. Adapun langkah-langkah strategis yangbisa dilakukan di antaranya Pertama, mengoptimalkan penginternalisasian pendidikan kritis, yang sering disebut sebagai pendidikan pembebasan, pendidikan perlawanan dan sejenisnya. Dalam konteks ini, dikaitkan untuk melawan sebuah ideologi yaitu fundamentalisme yang mengarah pada radikalisme dan terorisme.
Oleh karena itu, upaya mengkritik secara kritis praktik pendidikan tersebut dapat disebut sebagai upaya dari pendekatan kritis dalam melawan hegemoni ideologis. Dalam konteks melawan logika terorisme dan radikalisme di sini, tugas pendidikan kritis adalah menyadarkan semua orang, bahwa telah terjadi praktik ideologisasi dan hegemoni logika terorisme dan radikalisme dalam praktik pendidikan. Tentu yang dimaksud praktik pendidikan di sini tidak hanya dalam sistem persekolahan seperti sekolah dan kampus, tetapi juga pendidikan di masyarakat dan keluarga.
Namun, kritik untuk menumbuhkan kesadaran kritis tersebut hanya dapat digunakan untuk mengetahui dan memetakan praktik hegemoni ideologis saja. Sadar dan tahu praktik hegemoni tersebut belum tentu disertai dengan penolakan atas pengetahuan, nilai dan kultur yang menghegemoni. Dengan kata lain, kesadaran kritis tentang praktik ideologisasi dan hegemoni tersebut belum dapat untuk menumbuhkan kesadaran kritis bahwa logika terorisme adalah tidak tepat atau salah kaprah.
Kedua, optimalisasi pendidikan agama. Dalam hal ini, sekolah harus cermat dalam merekrut guru agama. Berdasarkan pengalaman terorisme di Klaten dan Sukoharjo, tidak menutup kemungkinan benih-benih terorisme dan radikalisme juga bisa terinter-nalisasi melalui pendidikan agama. Maka, sudah saatnya model pembelajaran agama diubah, dari sekadar mene-kankan aspek kognitif kepada pendalaman aspek afektif dan psikomotorik. Pendidikan agama dalam bahasa Saridjo (199665) selain sebagai aspek sublimatif (menyucikan dan menjadikan tulus ikhlas) setiap amal perbuatan, juga harus berperan mengantarkan siswanya untuk memahami dan mengamalkan ajaran agamanya secara holistis.
Pendidikan agama, tulis Amin Abdullah (2005), juga harus mengajarkan kepada para siswa tentang pentingnya pluralisme, menghargai kelompok yang berbeda, serta menjadikan Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seru sekalian alam, bukan tempat bersemayamnya para teroris. Di samping itu, metodologi pendidikan agama sudah saatnya gayut (memiliki kaitan) dengan era modernitas bukan malah bersifat kaku dan kolot. Dan yang utama, guru agama benar-benar orang yang profesional sebagai pendidik, bukan sekadar karena memiliki pengetahuan agama dari salah satu ideologi dan lolos seleksi CPNS guru agama.
Ketiga, sekolah harus lebih ketat dalam mengawasi siswa-siswanya yang berpotensi direkrut terorisme. Dalam hal ini, sekolah mesti bekerja sama dengan OSIS/IPNU atau IPM yang ada, sehingga setiap tindakan siswa yang mencurigakan bisa langsung ditangani atau diberi pembinaan. Sekolah juga perlu menjalin kerja sama yang harmonis baik dengan orang tua, masyarakat, maupun pemilik kepentingan pada umumnya, terkait pengawasan dan pembinaan siswanya. Akhirnya, modus baru perekrutan terorisme yang mengincar para pelaku siswa harus segera dihentikan, demi masa depan siswa dan terciptanya ketenteraman dalam masyarakat dan bangsa pada umumnya. Semoga.
source : 
http://bataviase.co.id/node/567673

Tidak ada komentar:

Posting Komentar